Kebijakan Jangka Menengah
Kerangka kebijakan dan peraturan
Berdasarkan Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, seluruh daerah harus menyusun Rencana Aksi Daerah Penanggulangan Risiko Bencana (RAD-PRB) yang sensitif terhadap kondisi kebencanaan di daerah masing-masing. RAD-PRB tersebut sekaligus merupakan dokumen perencanaan yang komplemen terhadap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Kewenangan Otonomi Daerah |
Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD) perlu mengarus-utamakan upaya penanggulangan risiko bencana sebagai salah satu prioritas, seperti halnya telah menjadi prioritas nasional yang tertuang dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP).
Diperlukan adanya peraturan daerah yang mengacu pada peraturan dan perundangan yang terkait dengan penanggulangan bencana termasuk upaya-upaya pengurangan risiko bencana, antara lain:
1. Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang perlu didukung oleh peraturan mengenai penyediaan peta rawan bencana yang mudah diperoleh dan diakses oleh masyarakat (psg.bgl.esdm.go.id) dan sangat dibutuhkan sebagai bagian dari upaya penyebaran informasi kepada masyarakat;
Contoh Peta rawan bencana yang dapat diakses oleh umum |
2. Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil perlu memperhatikan kerawanan wilayah pesisir terhadap bencana, termasuk peraturan mengenai sempadan pantai;
3. Sesuai Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, pengelolaan hutan lestari perlu kembali digalakkan tidak hanya untuk menjaga kestabilan ekosistem melainkan juga sebagai salah satu upaya mitigasi bencana. Pengembangan hutan pantai sangat berperan dalam upaya mitigasi bencana, yaitu menjaga garis pantai dan tebing sungai dari erosi/abrasi, memecah energi gelombang laut terutama apabila terjadi gempa yang diikuti gelombang tsunami, memulihkan dan melestarikan sumber daya plasma nutfah, serta memulihkan daya dukung wilayah dan daya tampung lingkungan.
Diperlukan adanya peraturan mengenai bangunan tahan gempa dengan memperhatikan berbagai sumber dan besaran gempa yang pernah terekam, disertai kedalaman dan jenis patahan batuan. Terdapat 3 (tiga) kunci utama bangunan tahan gempa, yaitu:
1. Untuk rumah tinggal tembokan sederhana, kunci ketahanan gempa adalah pemakaian balok fondasi (sloof), kolom praktis, dan ring balok yang dibuat dari beton bertulang dan disatukan dengan pasangan batanya.
2. Kunci kedua adalah dengan memakai atap yang relatif ringan dan terikat dengan baik pada konstruksi atapnya. Rumah tradisional Sumatera Barat dengan atap sengnya dan Bali dengan atap alang-alangnya menunjukkan kearifan nenek moyang kita, hal mana seharusnya diteruskan ke generasi saat ini. Kedua daerah rawan gempa ini telah memilih jenis atap yang sesuai sehingga tidak mengakibatkan gaya inersia yang besar saat terjadi gempa.
3. Untuk gedung-gedung konstruksi beton, kunci keberhasilannya dalam menahan gempa terletak pada dua hal, yaitu menaruh kait sengkang yang cukup dengan ujung yang cukup panjang dan ditekuk 135° dan membuat tiang kolom beton lebih kuat daripada baloknya.
Ketiga prinsip tersebut diatas tidak akan efektif jika praktek pembangunan rumah dan bangunan di lapangan masih menggunakan pola lama, yaitu meminimalkan bahan bangunan untuk penghematan biaya. Lebih jauh lagi, pemerintah dan kelompok professional Indonesia perlu lebih serius dalam menerapkan peraturan mengenai seismic code serta dalam mekanisme pemberian Izin Mendirikan Bangunan yang saat ini seringkali tidak ditaati.
Bangunan eksisting, khususnya yang bersejarah dan tradisional, perlu mendapatkan perawatan (maintenance) yang lebih baik. Dari beberapa gempa yang terjadi di Indonesia, bangunan-bangunan lama peninggalan Belanda (seperti Masjid Baiturrahman gambar di atas) justru banyak yang tahan terhadap goncangan. Kalaupun rusak, tidak sampai roboh atau rusak berat. Bangunan-bangunan tersebut sebenarnya dapat lebih tahan terhadap goncangan jika dipelihara dengan lebih baik.
Demikian juga dengan bangunan tradisional seperti rumah panggung, sebagian besar rusak/roboh dikarenakan kurangnya perawatan bangunan.
Peningkatan kapasitas kelembagaan penanganan bencana
Untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan penanganan bencana, dibutuhkan adanya perangkat kebijakan yang mampu mengakomodasi kegiatan penanganan bencana, yang meliputi:
1. Standard Operating Procedure (SOP) untuk mobilisasi sumber daya,
2. Sistem peringatan dini yang efektif dalam menyampaikan pesan secara cepat dan melibatkan berbagai komponen masyarakat, serta
3. Pengembangan Pusat Operasi Penanggulangan Bencana.
Peningkatan kesiapsiagaan masyarakat
Hal penting yang perlu dicatat adalah bahwa pada umumnya masyarakat tidak menyadari bahwa daerahnya rawan bencana, hingga akhirnya bencana terjadi. Pengalaman bencana semakin menyadarkan masyarakat tentang perlunya sistem peringatan bencana yang dapat dijadikan panduan dalam mengurangi resiko bencana. Oleh karena itu, sebelum suatu bencana terjadi, masyarakat perlu diberi suatu pemahaman jika daerahnya termasuk rawan bencana, termasuk apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi potensi bencana serta apa yang harus dilakukan jika suatu bencana terjadi.
Peningkatan kesiapsiagaan tersebut juga perlu dilakukan di tingkat kelurahan, dan ditindak-lanjuti di tingkat kecamatan, yaitu melalui penyiapan instrumen kebijakan yang memuat rencana untuk keadaan darurat, sistim peringatan dini bencana, serta mobilisasi sumber daya.
Selain perangkat kebijakan yang kuat, dibutuhkan partisipasi masyarakat secara luas untuk mendukung kesiapsiagaan masyarakat. Salah satu mekanisme partisipasi telah dicontohkan LIPI melalui Gerakan Kesiagaan Bencana Berbasis Masyarakat, yaitu strategi pendidikan
publik yang menjembatani kesenjangan sistem pemerintah yang bersifat instruktif, dengan gerakan partisipatif masyarakat untuk siaga bencana. Gerakan ini di luncurkan dengan nuansa nilai “Mari Bersahabat Dengan Alam”.
Untuk Sumatera Barat, LIPI mengapresiasi nilai adat leluhur “Alam Takambang Jadi Guru” yang dalam sosialisasinya dengan pemerintah daerah, telah mendapatkan respons yang sangat positif. Strategi pendidikan publik, seperti yang dikemas oleh LIPI, dapat dilakukan melalui tiga kegiatan utama, yaitu kampanye massal, pendidikan non formal untuk jangka pendek serta pendidikan formal untuk jangka panjang.
LSM memiliki potensi peran yang cukup besar sehingga perlu untuk terus dilibatkan, khususnya dalam pemberian informasi dan pengetahuan mengenai penanggulangan risiko bencana kepada masyarakat. LSM perlu memiliki program yang mendukung peningkatan
kapasitas kecamatan dan perencanaan desa berbasis masyarakat, memberikan perhatian khusus terhadap upaya mengurangi resiko bencana maupun dukungan terhadap kesiapsiagaan masyarakat untuk mengantisipasi bencana.
Selain bantuan keterampilan, pengetahuan dan informasi, bantuan lain yang dapat diberikan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat adalah mengikutsertakan masyarakat dalam perencanaan tapak perumahan, termasuk rencana membuatkan jalur evakuasi, hunian sementara/pengungsian di titik tujuan evakuasi, yang dapat menyimpan cadangan kebutuhan penduduk dalam keadaan darurat.
Kebijakan Jangka Panjang
Dalam jangka panjang, dibutuhkan program pembangunan yang berbasis pengurangan risiko bencana melalui peningkatan kapasitas pemerintah dan masyarakat dalam hal:
1. Sumber Daya Manusia melalui pendidikan formal, pelatihan penanganan tanggap darurat, persiapan tanggap darurat di rumah tangga dan sekolah;
2. Peraturan, yaitu peraturan daerah yang ditetapkan sesuai dengan kondisi masing-masing daerah, dan dapat menjadi acuan bagi pemerintah daerah serta masyarakat secara luas dalam upaya penanggulangan bencana;
3. Pendanaan, yaitu kesiapan pendanaan mulai dari proses pra bencana (preventif, sebelum bencana terjadi), tanggap darurat (saat bencana terjadi), dan pasca bencana (setelah bencana terjadi).
Sumber Referensi : Jurnal Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar