Rabu, 09 November 2022

KETAHANAN PANGAN DAN PEMBANGUNAN PEDESAAN DI INDONESIA

Tantangan pangan Indonesia kedepan:
• Semakin berkurangnya lahan pertanian akibat konversi yang mengancam  
keberlanjutan produksi dan kualitas pangan
Supply and demand komoditas pangan yang belum berimbang: Tantangan-nya  
muncul dari dua sisi sekaligus yang saling menguatkan tingkat kesulitannya, yaitu  
dari sisi supply (penawaran, pasokan) dan sisi demand (permintaan, kebutuhan)  
yang ber-perilaku sangat dinami (FAO, 2011a; Badan Ketahanan Pangan, 2013;  
Suryana, 2014a).  
• Lemahnya pemanfaatan dan penguasaan teknologi bagi smallholders, Kurangnya  
manajemen usahatani, dan pemasaran hasil.
• Proporsi kehilangan hasil panen dan pemborosan pangan masih cukup tinggi.  
Kehilangan pangan (food losses) karena ketidaktepatan penanganan  
pangan mulai dari saat panen sampai dengan pengolahan dan berlanjut  
pada pemasaran, dipercayai masih sekitar 10 persen sampai 20 persen, bergantung  
pada komoditas, musim, dan teknologi yang digunakan.
• Luas lahan pertanian per kapita yang sangat terbatas. Petani kecil ini dihadapkan  
pada persoalan klasik yang belum berhasil diatasi dengan baik, seperti  
keterbatasan akses terhadap pasar, permodalan, informasi, dan teknologi  
Mengakibatkan pertanian dalam negeri kesulitan mencapai efisiensi dengan alat  
pertanian dan mekanisasi lantaran lahan yang dikelola tidak terkonsentrasi pada satu  
wilayah yang luas
• Jumlah pemuda yang berminat bekerja di sektor pertanian merupakan masalah lain.  
Usia petani di atas 45 tahun mencapai 64,2% (BPS, 2018).  
• Industri agro masih didominasi oleh perkebunan sawit
• Indonesia juga masih menghadapi tiga kali lipat beban gizi. Berdasarkan data  
Kementerian Kesehatan (2018), prevalensi stunting pada balita masih tinggi pada  
tahun 2018 yaitu 30,8%. Sedangkan anak lainnya mengalami obesitas dengan  
prevalensi 8,0% pada tahun 2018. Beban lainnya adalah prevalensi anemia pada ibu  
hamil masih sangat tinggi yaitu 48,9% pada tahun 2018 akibat kurangnya zat gizi  
mikro.
• Perubahan iklim juga menciptakan risiko baru bagi produktivitas pertanian. Bencana  
hidrometeorologi seperti banjir dan kekeringan menyebabkan gagal panen di  
kalangan petani.

Ketersediaan pangan di Indonesia dinilai telah mencapai kenaikan secara signifikan.  

Sebagian besar wilayah Indonesia telah mencapai swasembada dalam produksi serealia dan  
umbi-umbian utama. Berdasarkan rasio konsumsi normatif terhadap produksi, 258  
kabupaten (62%) mengalami surplus dan 158 kabupaten (38%) mengalami defisit dari total  
416 kabupaten. Kabupaten di Provinsi Papua Barat, Papua dan sebagian besar di Provinsi  
Riau, Jambi, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah dan Maluku mengalami  
defisit dalam produksi serealia dan umbi-umbian.

Kondisi iklim, kesesuaian lahan, bencana  
alam (kekeringan, banjir, dan sebagainya) adalah faktor-faktor yang menjadi kendala  
terhadap kemampuan kabupaten-kabupaten yang mengalami defisit serealia untuk  
mencapai swasembada dalam produksi serealia.  

Walaupun demikian, solusi bagi daerah yang memiliki defisit penyediaan produk serealia dan  
umbi-umbian bisa diatasi dengan produksi produk lain dan jaringan distribusi dan logistik  
yang mumpuni.

Daerah yang mengalami defisit dalam produksi serealia dan umbi-umbian  
utama dapat menghasilkan produk-produk lain yang pada gilirannya dapat meningkatkan  
pendapatan penduduk untuk membeli produk pangan dari daerah surplus. Hal ini berarti,  
bukan hanya peningkatan produksi pangan tetapi terjaminnya distribusi dan logistik pangan  
merupakan hal penting bagi ketahanan pangan Indonesia.

Salah satu tantangan utama penyediaan makanan di masa depan berupa meningkatnya  
pertumbuhan penduduk Indonesia yang pada saat bersamaan terjadi penurunan jumlah  
petani yang cukup drastis.

Berdasarkan sensus, laju penurunan jumlah petani sebesar 1,75%  
atau lebih dari 500 ribu rumah tangga per tahun. Lebih lanjut, ketimpangan pemilikan lahan  
juga berpengaruh terhadap ketahanan pangan.

Berdasarkan data Sensus Pertanian 2013,  
ketimpangan kepemilikan lahan pada 2013 mencapai 0,68. Artinya hanya 1% rakyat  
Indonesia menguasai 68% sumber daya lahan.

Selain itu, meski Indonesia telah mampu mencapai swasembada beras dan pengekspor  
beberapa komoditas pertanian dan perkebunan utama, produksi komoditas lainnya tidaklah  
selaras dengan naiknya konsumsi nasional, misalnya dalam komoditas gandum, daging sapi,  
buah-buahan, sayuran dan susu. Hal ini meningkatkan ketergantungan akan impor pangan.
 
Hal lain yang juga akan semakin berpengaruh terhadap ketahanan pangan adalah bencana  
alam, kekeringan, banjir, dan hama tanaman yang terkait dengan perubahan iklim.
 
Selanjutnya, ketersediaan pangan tidaklah otomatis menjadikan akses terhadap pangan  
menjadi meningkat. Akses pangan berhubungan dengan kemampuan rumah tangga untuk  
memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, stok, pembelian, barter,  
hadiah, pinjaman dan bantuan pangan.

Pangan mungkin tersedia secara fisik di suatu  
daerah, akan tetapi tidak dapat diakses oleh rumah tangga tertentu karena terbatasnya akses  
fisik, akses ekonomi, dan/atau akses sosial.

Faktor fluktuasi harga pangan sangatlah  
berpengaruh terhadap akses pangan. Sebagaimana disebut sebelumnya, logistik dan  
transportasi sangatlah menentukan. Harga pangan sangat terkait erat dengan harga bahan  
bakar minyak. Oleh karena itu, kebijakan pangan tidak bisa dipisahkan dari kebijakan sektor  
energi.

Kebutuhan energi haruslah  
dipertimbangkan secara tepat dan diintegrasikan ke dalam program pembangunan  
pertanian (termasuk kelautan dan perikanan) dan pedesaan.

FAO menyebutkan bahwa  
negara-negara berkembang telah tertinggal jauh dari negara maju dalam hal dalam proses  
modernisasi energi dalam produksi pangan. Padahal, pertanian modern membutuhkan  
masukan energi pada semua tahap produksi pertanian seperti penggunaan energi secara  
langsung dalam mesin pertanian, pengelolaan air, irigasi, budidaya, dan panen.

Penggunaan  
energi pasca panen mencakup energi untuk pemrosesan, penyimpanan, dan pengangkutan  
makanan ke pasar. Selain itu, masih banyak input energi tidak langsung atau terserap yang  
digunakan dalam pertanian dalam bentuk pupuk mineral dan pestisida kimiawi, insektisida  
dan herbisida. Sekitar 30 persen dari total kebutuhan energi dunia berasal dari rantai  
produksi pangan.  

Pengembangan energi pedesaan merupakan hal penting dalam upaya pengentasan  
kemiskinan.

Program-program pembangunan pedesaan selama ini terkonsentrasi pada  
penggunaan energi rumah tangga, misalnya, penggunaan kompor masak yang lebih baik  
dan pengembangan sistem rumah surya dengan menggunakan teknologi PV. Meskipun  
bermanfaat, program-program tersebut tidak secara langsung menangani masalah pasokan  
energi di sektor pertanian, dan mendorong kegiatan yang menghasilkan pendapatan.  
Padahal, kegiatan semacam itu adalah satu-satunya cara bagi masyarakat pedesaan untuk  
keluar dari lingkaran setan kemiskinan.  


Hal ini bukan berarti bahwa modernisasi seperti pertanian di negara maju (di Barat) dan  
sekarang diujicobakan di Indonesia dalam ‘pola agribisnis’ menjadi solusi yang tepat bagi  
ketahanan pangan Indonesia.

Pertanian tradisional sebenarnya lebih efisien dalam  
pemanfaatan energi daripada pertanian modern yang berbasis mekanisasi. Pertanian  
modern memang cenderung meningkatkan produksi yang berlipat dengan tenaga manusia  
yang lebih sedikit, tetapi membutuhkan sumber energi fosil dan sumber daya air yang justru  
lebih banyak. Hal ini justru menunjukkan sebuah skenario pembangunan pedesaan dan  
pertanian yang tidak berkelanjutan.

Meski energi baru dan terbarukan lebih ramah lingkungan daripada energi berbasis fosil,  
pengembangan energi alternatif memiliki potensi ancaman bagi ketahanan pangan.
 
Vaclav Smil, seorang ahli energi terkemuka, menyatakan bahwa secara historis manusia  
melakukan transisi dari sumber energi yang relatif lemah dan tersebar kepada yang lebih  
terkonsentrasi. Kayu bakar, misalnya, membutuhkan banyak lahan untuk ‘sekedar’  
menghangatkan sebuah rumah atau mencukupi kebutuhan memasak rumah tangga. Satu  
batang kayu menghasilkan energi yang relatif sedikit saat dibakar. Kayu dan bahan bakar  
biomassa lainnya memiliki "power density" yang relatif rendah, kata Smil. Sebaliknya,  
batubara dan minyak bumi (tidak terbarukan) memiliki kepadatan daya/power density yang  
lebih tinggi, karena menghasilkan lebih banyak energi per gram dan diekstraksi dari endapan  
yang relatif padat. Tapi sekarang, dengan wacana energi alternatif, dunia sedang berbalik,  
dari bahan bakar fosil yang sangat terkonsentrasi kembali ke sumber energi terbarukan yang  
lebih tersebar, seperti biofuel, tenaga surya, dan tenaga angin.

Salah satu implikasi serius dari penggunaan energi terbarukan adalah pada masa depan yang berbasiskan  
energi baru dan terbarukan, umat manusia secara global mungkin harus mencurahkan 100  
atau bahkan 1000 kali lebih banyak luas lahan untuk produksi energi daripada saat ini.
 
Pergeseran itu, kata Smil, bisa berdampak negatif pada pertanian, keanekaragaman hayati,  
dan kualitas lingkungan.

Sektor pangan dan energi adalah sektor yang sangat terintegrasi dengan pasar global. Hal  
ini membuat proses penyediaan permintaan menjadi lebih canggih, tidak dibatasi kondisi  
lokal atau teritori negara, dan lebih kompetitif.

Pada saat yang bersamaan, pasar pangan dan  
energi global juga sangat rentan dengan disrupsi; konflik dan perang, ataupun pandemi  
global seperti saat ini. Krisis harga minyak 1973 mendorong banyak negara untuk
menyiapkan berbagai strategi ketahanan energi.

Global Report on Food Crises 2020  
menunjukkan setidaknya 123 juta orang penduduk dunia mengalami krisis pangan. Konflik,  
cuaca yang ekstrem, serangan hama (belalang), guncangan ekonomi, dan Covid-19  
merupakan penyebat utama dalam krisis pangan dunia di tahun 2020.

Ada dua tren respon terhadap disrupsi ini; yang pertama berupa penguatan standar supply  
chain global, dan yang kedua pembentukan model alternatif di tingkat lokal. Keduanya  
dilakukan dalam rangka strategi ketahanan pangan dan energi. Konsumen akan semakin  
selektif dalam memilih produk misalnya.

Dalam konteks pangan misalnya konsumen global  
akan menuntut tingkat keamanan produk yang lebih tinggi, gizi dan kualitas yang lebih baik,  
termasuk juga ketersediaan pasokan. Perusahaan besar akan semakin dominan dalam proses  
produksi pangan di tingkat lokal pedesaan demi mengamankan rantai pasokan dan  
penjaminan mutu.

Ketatnya standar kesehatan pasca pandemi Covid-19 mungkin hanya bisa  
dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan besar tertentu yang memiliki modal besar. Pemain  
kecil akan semakin tersingkir dari supply chain pangan dunia.

Pandemi Covid-19 juga bisa memunculkan pergeseran prioritas pembangunan pertanian. Isu  
keberlanjutan mungkin akan disisihkan dari agenda ketahanan pangan.

Biaya produksi  
pangan yang ramah lingkungan dan organik cukup mahal. Dalam kondisi kerawanan pangan  
yang meningkat, ketersediaan pangan dalam jumlah besar lebih menjadi prioritas terlepas  
bagaimana proses produksinya.

Resesi ekonomi yang mengiringi pandemi ini juga akan mengurangi pekerjaan sektor  
pangan yang ujungnya akan meningkatkan kerentanan rawan pangan.

FAO/IFRPRI  
memperkirakan sekitar 450 juta pekerjaan terkait sistem pangan dan hajat hidup sekitar 1  
milyar penduduk terancam. Kaum perempuan sangat rentan terhadap hilangnya pekerjaan  
ini, karena sektor pangan dalam pengolahan pangan, jasa penyedia pangan, dan distribusi  
pangan didominasi oleh kaum perempuan.

Dalam jangka panjang, resesi ekonomi akan  
mengurangi akses konsumen terhadap pangan dan memukul para petani khususnya di  
negara-negara yang tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk melindungi petani dan  
produsen pangan, dan yang selama ini mengandalkan negara lain dalam penyediaan pangan  
dalam negeri.

Kemiskinan akan kembali menurunkan kemampuan akses pangan di kalangan  
petani di pedesaan. Dalam konteks bencana seperti ini, perlindungan terhadap produsen  
pangan dan pekerja dalam seluruh rangkaian sistem pangan adalah kunci bagi ketahanan  
pangan nasional.


KETAHANAN PANGAN DAN PEMBANGUNAN PEDESAAN DI INDONESIA

Tantangan pangan Indonesia kedepan: • Semakin berkurangnya lahan pertanian akibat konversi yang mengancam   keberlanjutan produksi dan kuali...