• Semakin berkurangnya lahan pertanian akibat konversi yang mengancam
keberlanjutan produksi dan kualitas pangan
Supply and demand komoditas pangan yang belum berimbang: Tantangan-nya
muncul dari dua sisi sekaligus yang saling menguatkan tingkat kesulitannya, yaitu
dari sisi supply (penawaran, pasokan) dan sisi demand (permintaan, kebutuhan)
yang ber-perilaku sangat dinami (FAO, 2011a; Badan Ketahanan Pangan, 2013;
Suryana, 2014a).
• Lemahnya pemanfaatan dan penguasaan teknologi bagi smallholders, Kurangnya
manajemen usahatani, dan pemasaran hasil.
• Proporsi kehilangan hasil panen dan pemborosan pangan masih cukup tinggi.
Kehilangan pangan (food losses) karena ketidaktepatan penanganan
pangan mulai dari saat panen sampai dengan pengolahan dan berlanjut
pada pemasaran, dipercayai masih sekitar 10 persen sampai 20 persen, bergantung
pada komoditas, musim, dan teknologi yang digunakan.
• Luas lahan pertanian per kapita yang sangat terbatas. Petani kecil ini dihadapkan
pada persoalan klasik yang belum berhasil diatasi dengan baik, seperti
keterbatasan akses terhadap pasar, permodalan, informasi, dan teknologi
Mengakibatkan pertanian dalam negeri kesulitan mencapai efisiensi dengan alat
pertanian dan mekanisasi lantaran lahan yang dikelola tidak terkonsentrasi pada satu
wilayah yang luas
• Jumlah pemuda yang berminat bekerja di sektor pertanian merupakan masalah lain.
Usia petani di atas 45 tahun mencapai 64,2% (BPS, 2018).
• Industri agro masih didominasi oleh perkebunan sawit
• Indonesia juga masih menghadapi tiga kali lipat beban gizi. Berdasarkan data
Kementerian Kesehatan (2018), prevalensi stunting pada balita masih tinggi pada
tahun 2018 yaitu 30,8%. Sedangkan anak lainnya mengalami obesitas dengan
prevalensi 8,0% pada tahun 2018. Beban lainnya adalah prevalensi anemia pada ibu
hamil masih sangat tinggi yaitu 48,9% pada tahun 2018 akibat kurangnya zat gizi
mikro.
• Perubahan iklim juga menciptakan risiko baru bagi produktivitas pertanian. Bencana
hidrometeorologi seperti banjir dan kekeringan menyebabkan gagal panen di
kalangan petani.
Ketersediaan pangan di Indonesia dinilai telah mencapai kenaikan secara signifikan.
Sebagian besar wilayah Indonesia telah mencapai swasembada dalam produksi serealia dan
umbi-umbian utama. Berdasarkan rasio konsumsi normatif terhadap produksi, 258
kabupaten (62%) mengalami surplus dan 158 kabupaten (38%) mengalami defisit dari total
416 kabupaten. Kabupaten di Provinsi Papua Barat, Papua dan sebagian besar di Provinsi
Riau, Jambi, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah dan Maluku mengalami
defisit dalam produksi serealia dan umbi-umbian.
Kondisi iklim, kesesuaian lahan, bencana
alam (kekeringan, banjir, dan sebagainya) adalah faktor-faktor yang menjadi kendala
terhadap kemampuan kabupaten-kabupaten yang mengalami defisit serealia untuk
mencapai swasembada dalam produksi serealia.
Walaupun demikian, solusi bagi daerah yang memiliki defisit penyediaan produk serealia dan
umbi-umbian bisa diatasi dengan produksi produk lain dan jaringan distribusi dan logistik
yang mumpuni.
Daerah yang mengalami defisit dalam produksi serealia dan umbi-umbian
utama dapat menghasilkan produk-produk lain yang pada gilirannya dapat meningkatkan
pendapatan penduduk untuk membeli produk pangan dari daerah surplus. Hal ini berarti,
bukan hanya peningkatan produksi pangan tetapi terjaminnya distribusi dan logistik pangan
merupakan hal penting bagi ketahanan pangan Indonesia.
Salah satu tantangan utama penyediaan makanan di masa depan berupa meningkatnya
pertumbuhan penduduk Indonesia yang pada saat bersamaan terjadi penurunan jumlah
petani yang cukup drastis.
Berdasarkan sensus, laju penurunan jumlah petani sebesar 1,75%
atau lebih dari 500 ribu rumah tangga per tahun. Lebih lanjut, ketimpangan pemilikan lahan
juga berpengaruh terhadap ketahanan pangan.
Berdasarkan data Sensus Pertanian 2013,
ketimpangan kepemilikan lahan pada 2013 mencapai 0,68. Artinya hanya 1% rakyat
Indonesia menguasai 68% sumber daya lahan.
Selain itu, meski Indonesia telah mampu mencapai swasembada beras dan pengekspor
beberapa komoditas pertanian dan perkebunan utama, produksi komoditas lainnya tidaklah
selaras dengan naiknya konsumsi nasional, misalnya dalam komoditas gandum, daging sapi,
buah-buahan, sayuran dan susu. Hal ini meningkatkan ketergantungan akan impor pangan.
Hal lain yang juga akan semakin berpengaruh terhadap ketahanan pangan adalah bencana
alam, kekeringan, banjir, dan hama tanaman yang terkait dengan perubahan iklim.
Selanjutnya, ketersediaan pangan tidaklah otomatis menjadikan akses terhadap pangan
menjadi meningkat. Akses pangan berhubungan dengan kemampuan rumah tangga untuk
memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, stok, pembelian, barter,
hadiah, pinjaman dan bantuan pangan.
Pangan mungkin tersedia secara fisik di suatu
daerah, akan tetapi tidak dapat diakses oleh rumah tangga tertentu karena terbatasnya akses
fisik, akses ekonomi, dan/atau akses sosial.
Faktor fluktuasi harga pangan sangatlah
berpengaruh terhadap akses pangan. Sebagaimana disebut sebelumnya, logistik dan
transportasi sangatlah menentukan. Harga pangan sangat terkait erat dengan harga bahan
bakar minyak. Oleh karena itu, kebijakan pangan tidak bisa dipisahkan dari kebijakan sektor
energi.
Kebutuhan energi haruslah
dipertimbangkan secara tepat dan diintegrasikan ke dalam program pembangunan
pertanian (termasuk kelautan dan perikanan) dan pedesaan.
FAO menyebutkan bahwa
negara-negara berkembang telah tertinggal jauh dari negara maju dalam hal dalam proses
modernisasi energi dalam produksi pangan. Padahal, pertanian modern membutuhkan
masukan energi pada semua tahap produksi pertanian seperti penggunaan energi secara
langsung dalam mesin pertanian, pengelolaan air, irigasi, budidaya, dan panen.
Penggunaan
energi pasca panen mencakup energi untuk pemrosesan, penyimpanan, dan pengangkutan
makanan ke pasar. Selain itu, masih banyak input energi tidak langsung atau terserap yang
digunakan dalam pertanian dalam bentuk pupuk mineral dan pestisida kimiawi, insektisida
dan herbisida. Sekitar 30 persen dari total kebutuhan energi dunia berasal dari rantai
produksi pangan.
Pengembangan energi pedesaan merupakan hal penting dalam upaya pengentasan
kemiskinan.
Program-program pembangunan pedesaan selama ini terkonsentrasi pada
penggunaan energi rumah tangga, misalnya, penggunaan kompor masak yang lebih baik
dan pengembangan sistem rumah surya dengan menggunakan teknologi PV. Meskipun
bermanfaat, program-program tersebut tidak secara langsung menangani masalah pasokan
energi di sektor pertanian, dan mendorong kegiatan yang menghasilkan pendapatan.
Padahal, kegiatan semacam itu adalah satu-satunya cara bagi masyarakat pedesaan untuk
keluar dari lingkaran setan kemiskinan.
Hal ini bukan berarti bahwa modernisasi seperti pertanian di negara maju (di Barat) dan
sekarang diujicobakan di Indonesia dalam ‘pola agribisnis’ menjadi solusi yang tepat bagi
ketahanan pangan Indonesia.
Pertanian tradisional sebenarnya lebih efisien dalam
pemanfaatan energi daripada pertanian modern yang berbasis mekanisasi. Pertanian
modern memang cenderung meningkatkan produksi yang berlipat dengan tenaga manusia
yang lebih sedikit, tetapi membutuhkan sumber energi fosil dan sumber daya air yang justru
lebih banyak. Hal ini justru menunjukkan sebuah skenario pembangunan pedesaan dan
pertanian yang tidak berkelanjutan.
Meski energi baru dan terbarukan lebih ramah lingkungan daripada energi berbasis fosil,
pengembangan energi alternatif memiliki potensi ancaman bagi ketahanan pangan.
Vaclav Smil, seorang ahli energi terkemuka, menyatakan bahwa secara historis manusia
melakukan transisi dari sumber energi yang relatif lemah dan tersebar kepada yang lebih
terkonsentrasi. Kayu bakar, misalnya, membutuhkan banyak lahan untuk ‘sekedar’
menghangatkan sebuah rumah atau mencukupi kebutuhan memasak rumah tangga. Satu
batang kayu menghasilkan energi yang relatif sedikit saat dibakar. Kayu dan bahan bakar
biomassa lainnya memiliki "power density" yang relatif rendah, kata Smil. Sebaliknya,
batubara dan minyak bumi (tidak terbarukan) memiliki kepadatan daya/power density yang
lebih tinggi, karena menghasilkan lebih banyak energi per gram dan diekstraksi dari endapan
yang relatif padat. Tapi sekarang, dengan wacana energi alternatif, dunia sedang berbalik,
dari bahan bakar fosil yang sangat terkonsentrasi kembali ke sumber energi terbarukan yang
lebih tersebar, seperti biofuel, tenaga surya, dan tenaga angin.
Salah satu implikasi serius dari penggunaan energi terbarukan adalah pada masa depan yang berbasiskan
energi baru dan terbarukan, umat manusia secara global mungkin harus mencurahkan 100
atau bahkan 1000 kali lebih banyak luas lahan untuk produksi energi daripada saat ini.
Pergeseran itu, kata Smil, bisa berdampak negatif pada pertanian, keanekaragaman hayati,
dan kualitas lingkungan.
Sektor pangan dan energi adalah sektor yang sangat terintegrasi dengan pasar global. Hal
ini membuat proses penyediaan permintaan menjadi lebih canggih, tidak dibatasi kondisi
lokal atau teritori negara, dan lebih kompetitif.
Pada saat yang bersamaan, pasar pangan dan
energi global juga sangat rentan dengan disrupsi; konflik dan perang, ataupun pandemi
global seperti saat ini. Krisis harga minyak 1973 mendorong banyak negara untuk
menyiapkan berbagai strategi ketahanan energi.
Global Report on Food Crises 2020
menunjukkan setidaknya 123 juta orang penduduk dunia mengalami krisis pangan. Konflik,
cuaca yang ekstrem, serangan hama (belalang), guncangan ekonomi, dan Covid-19
merupakan penyebat utama dalam krisis pangan dunia di tahun 2020.
Ada dua tren respon terhadap disrupsi ini; yang pertama berupa penguatan standar supply
chain global, dan yang kedua pembentukan model alternatif di tingkat lokal. Keduanya
dilakukan dalam rangka strategi ketahanan pangan dan energi. Konsumen akan semakin
selektif dalam memilih produk misalnya.
Dalam konteks pangan misalnya konsumen global
akan menuntut tingkat keamanan produk yang lebih tinggi, gizi dan kualitas yang lebih baik,
termasuk juga ketersediaan pasokan. Perusahaan besar akan semakin dominan dalam proses
produksi pangan di tingkat lokal pedesaan demi mengamankan rantai pasokan dan
penjaminan mutu.
Ketatnya standar kesehatan pasca pandemi Covid-19 mungkin hanya bisa
dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan besar tertentu yang memiliki modal besar. Pemain
kecil akan semakin tersingkir dari supply chain pangan dunia.
Pandemi Covid-19 juga bisa memunculkan pergeseran prioritas pembangunan pertanian. Isu
keberlanjutan mungkin akan disisihkan dari agenda ketahanan pangan.
Biaya produksi
pangan yang ramah lingkungan dan organik cukup mahal. Dalam kondisi kerawanan pangan
yang meningkat, ketersediaan pangan dalam jumlah besar lebih menjadi prioritas terlepas
bagaimana proses produksinya.
Resesi ekonomi yang mengiringi pandemi ini juga akan mengurangi pekerjaan sektor
pangan yang ujungnya akan meningkatkan kerentanan rawan pangan.
FAO/IFRPRI
memperkirakan sekitar 450 juta pekerjaan terkait sistem pangan dan hajat hidup sekitar 1
milyar penduduk terancam. Kaum perempuan sangat rentan terhadap hilangnya pekerjaan
ini, karena sektor pangan dalam pengolahan pangan, jasa penyedia pangan, dan distribusi
pangan didominasi oleh kaum perempuan.
Dalam jangka panjang, resesi ekonomi akan
mengurangi akses konsumen terhadap pangan dan memukul para petani khususnya di
negara-negara yang tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk melindungi petani dan
produsen pangan, dan yang selama ini mengandalkan negara lain dalam penyediaan pangan
dalam negeri.
Kemiskinan akan kembali menurunkan kemampuan akses pangan di kalangan
petani di pedesaan. Dalam konteks bencana seperti ini, perlindungan terhadap produsen
pangan dan pekerja dalam seluruh rangkaian sistem pangan adalah kunci bagi ketahanan
pangan nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar