Secara bentang alam, gunung api yang berbentuk kerucut dapat dibagi menjadi daerah puncak, lereng, kaki, dan dataran di sekelilingnya. Pemahaman ini kemudian dikembangkan oleh Williams dan McBirney (1979) untuk membagi sebuah kerucut gunung api komposit menjadi 3 zone, yakni Central Zone, Proximal Zone, dan Distal Zone. Central Zone disetarakan dengan daerah puncak kerucut gunung api, Proximal Zone sebanding dengan daerah lereng gunung api, dan Distal Zone sama dengan daerah kaki serta dataran di sekeliling gunung api. Namun dalam uraiannya, kedua penulis tersebut sering menyebut zone dengan facies, sehingga menjadi Central Facies, Proximal Facies, dan Distal Facies. Pembagian fasies gunung api tersebut dikembangkan oleh Vessel dan Davies (1981) serta Bogie dan Mackenzie (1998) menjadi empat kelompok, yaitu Central/Vent Facies, Proximal Facies, Medial Facies, dan Distal Facies (Gambar 1). Sesuai dengan batasan fasies gunung api, yakni sejumlah ciri litologi (fisika dan kimia) batuan gunung api pada suatu lokasi tertentu, maka masing-masing fasies gunung api tersebut dapat diidentifikasi berdasarkan data:
1. inderaja dan geomorfologi
2. stratigrafi batuan gunung api
3. vulkanologi fisik
4. struktur geologi
5. petrologi-geokimia
Gambar 1. Pembagian fasies gunung api menjadi fasies sentral, fasies proksimal, fasies medial, dan fasies distal
beserta komposisi batuan penyusunnya (Bogie & Mackenzie, 1998)
IDENTIFIKASI BERDASARKAN INDRAJA DAN GEOMORFOLOGI
Pada umur Kuarter hingga masa kini, bentang alam gunung api komposit sangat mudah diidentifikasi karena bentuknya berupa kerucut, di puncaknya terdapat kawah dan secara jelas dapat dipisahkan dengan bagian lereng, kaki, dan dataran di sekitarnya. Dari puncak ke arah kaki, sudut lereng semakin melandai untuk kemudian menjadi dataran di sekitar kerucut gunung api tersebut. Untuk pulau gunung api, bagian puncak dan lereng menyembul di atas muka air laut sedangkan kaki dan dataran berada di bawah muka laut. Namun berdasarkan penelitian topografi bawah laut, tidak hanya kaki dan dataran di sekeliling pulau gunung api, tetapi juga kerucut gunung api bawah laut dapat diidentifikasi. Aliran sungai pada kerucut gunung api di darat dan pulau gunung api mempunyai pola memancar dari daerah puncak ke kaki dan dataran di sekitarnya. Apabila suatu kerucut gunung api di darat atau di atas muka air laut sudah tidak aktif lagi, maka proses geomorfologi yang dominan adalah pelapukan dan erosi, terutama di daerah puncak yang merupakan daerah timbulan tertinggi. Karena pengaruh litologi yang beragam di daerah puncak, ada yang keras dan ada yang lunak, relief daerah puncak menjadi sangat kasar, tersusun oleh bukit-bukit runcing di antara lembah-lembah sungai yang terjal dan dalam (Gambar 4). Sekalipun suatu kerucut gunung api sudah tererosi cukup lanjut, bagian lereng biasanya masih memperlihatkan pola sudut lereng yang melandai ke arah kaki dan berpasang-pasangan menghadap ke arah bekas puncak. Kemiringan lereng bukit yang menghadap ke daerah bekas puncak pada umumnya lebih terjal daripada kemiringan lereng yang menjauhi daerah puncak (Gambar 5). Dari citra landsat (Gambar 6 dan Tabel 1) secara utuh dapat diperlihatkan perbedaaan penampakan bentang alam kerucut gunung api muda dan yang sudah tererosi, baik pada tingkat dewasa maupun lanjut, mulai dari daerah puncak (fasies sentral), lereng atas (fasies proksimal), lereng bawah (fasies medial), dan kaki serta dataran (fasies distal).
Gambar 4. Bentang alam fasies sentral gunung api Tersier Gunung Bungkuk di sebelah barat Ponorogo. Morfologi
kerucut mengindikasikan batuan keras atau tahan erosi, sedang bentuk lembah ditempati oleh batuan lunak.
Gambar 5. Morfologi lereng-kaki selatan Gunung Jeruk, yang diperkirakan sebagai fasies sentral-proksimal-medial
gunung api Tersier Ijo-Kukusan di Pegunungan Kulonprogo, Yogyakarta. Puncak Gunung Ijo dan Gunung Kukusan
terletak di sebelah kanan gambar.
Gambar 6. Citra landsat daerah Bandung dan sekitarnya yang memperlihatkan bentuk bentang alam kerucut gunung api muda (misal nomor 1, 2, 4, 8, dan 9) sampai tua (nomor 3, 7, 11, 13, 16, dan 18). Gunung api muda dicirikan oleh bentuk kerucut yang relatif masih utuh dengan pola aliran memancar dari pusat erupsi. Semakin tua relief gunung apinya semakin kasar sebagai akibat erosi yang semakin lanjut dan aliran sungai cenderung ke pola mendaun. Urutan nama gunung api di dalam teks.
IDENTIFIKASI BERDASARKAN STRATIGRAFI BATUAN GUNUNG API
Fasies sentral merupakan bukaan keluarnya magma dari dalam bumi ke permukaan. Oleh sebab itu daerah ini dicirikan oleh asosiasi batuan beku yang berupa kubah lava dan berbagai macam batuan terobosan semi gunung api (subvolcanic intrusions) seperti halnya leher gunung api (volcanic necks), sill, retas, dan kubah bawah permukaan (cryptodomes). Batuan terobosan dangkal tersebut dapat ditemukan pada dinding kawah atau kaldera gunung api masa kini, atau pada gunung api purba yang sudah tererosi lanjut. Selain itu, karena daerah bukaan mulai dari conduit atau diatrema sampai dengan kawah merupakan lokasi terbentuknya fl uida hidrotermal, maka hal itu mengakibatkan terbentuknya batuan ubahan atau bahkan mineralisasi. Apabila erosi di fasies sentral ini sangat lanjut, batuan tua yang mendasari batuan gunung api juga dapat tersingkap. Fasies proksimal merupakan kawasan gunung api yang paling dekat dengan lokasi sumber atau fasies pusat. Asosiasi batuan pada kerucut gunung api komposit sangat didominasi oleh perselingan aliran lava dengan breksi piroklastika dan aglomerat (Gambar 7 dan 8). Kelompok batuan ini sangat resistan, sehingga biasanya membentuk timbulan tertinggi pada gunung api purba. Pada fasies medial, karena sudah lebih menjauhi lokasi sumber, aliran lava dan aglomerat sudah berkurang, tetapi breksi piroklastika dan tuf sangat dominan, dan breksi lahar juga sudah mulai berkembang. Sebagai daerah pengendapan terjauh dari sumber, fasies distal didominasi oleh endapan rombakan gunung api seperti halnya breksi lahar, breksi fluviatil, konglomerat, batupasir, dan batulanau. Endapan primer gunung api di fasies ini umumnya berupa tuf. Ciri-ciri litologi secara umum tersebut tentunya ada kekecualian apabila terjadi letusan besar sehingga menghasilkan endapan aliran piroklastika atau endapan longsoran gunung api yang melampar jauh dari sumbernya. Pada pulau gunung api ataupun gunung api bawah laut, di dalam fasies distal ini batuan gunung api dapat berselang-seling dengan batuan nongunung api, seperti halnya batuan karbonat. Dari pengamatan di lapangan daerah Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Wonogiri, fasies medial dan fasies distal gunung api purba (Tersier) sudah tertutup oleh batuan karbonat.
Gambar 7. Perlapisan aliran lava dan breksi gunung api Kuarter pada fasies proksimal Gunung Galunggung, Tasikmalaya-Jawa Barat. Perhatikan bahwa tebal perlapisan sangat beragam dan sebaran lateralnya juga tidak selalu menerus, seperti halnya terjadi pada perlapisan kue lapis (layered cake geology). Fasies sentral di sebelah kiri dan fasies medial di sebelah kanan gambar. Perlapisan juga membentuk kemiringan awal (initial dips).
Gambar 8. Perlapisan aliran lava sebagai bagian dari fasies proksimal gunung api Tersier di Kali Ngalang, Gunungkidul - Yogyakarta
IDENTIFIKASI BERDASARKAN VULKANOLOGI FISIK
Secara sedimentologi atau vulkanologi fisik, mulai dari fasies proksimal sampai fasies distal dapat dirunut perubahan secara bertahap mengenai tekstur dan struktur sedimen. Tekstur batuan klastika gunung api menyangkut bentuk butir, ukuran butir, dan kemas. Karena efek abrasi selama proses transportasi maka dari fasies proksimal ke fasies distal bentuk butir berubah mulai dari sangat meruncing - meruncing sampai membundar - sangat membundar. Ukuran butir juga berubah dari fraksi sangat kasar - kasar, sedang sampai dengan halus - sangat halus. Hubungan antara butir fraksi kasar di daerah fasies proksimal pada umumnya membentuk kemas tertutup, tetapi kemudian berubah menjadi kemas terbuka di fasies medial sampai distal. Struktur sedimen, seperti struktur imbrikasi, silangsiur, antidunes, dan gores-garis sebagai akibat terlanda seruakan piroklastika (pyroclastic surges) juga dapat membantu menentukan arah sumber dan sedimentasi. Secara geometri, struktur aliran piroklastika, aliran lahar serta aliran lava dapat juga mendukung penentuan arah sumber erupsi. Dari pengukuran aliran lava berstruktur bantal (Gambar 9) di Watuadeg, diketahui sumber erupsinya terletak lk. 200 m di sebelah barat Kali Opak (Bronto & Mulyaningsih, 2001). Endapan aliran gravitasi tersebut biasanya mengalir mengikuti lembah sungai lama, mulai dari daerah puncak sampai lereng bawah, sementara itu dari kaki hingga dataran endapan tersebut dapat menyebar membentuk kipas. Struktur bomb sag sebagai akibat lontaran balistik bom gunung api dan jatuh menyudut (miring) terhadap permukaan tanah pada waktu terjadi letusan dapat juga membantu menentukan arah sumber letusan (Gambar 10).
IDENTIFIKASI BERDASARKAN STRUKTUR GEOLOGI
Lereng kerucut gunung api komposit yang semakin terjal ke arah puncak atau semakin landai ke arah kaki disebabkan oleh proses penumpukan bahan erupsi gunung api itu sendiri. Semakin jauh dari sumber erupsi atau kawah tumpukan bahan erupsi semakin tipis sehingga membentuk lereng yang semakin landai. Konsekuensinya, bahan piroklastika yang jatuh bebas akan mengendap mengikuti topografi sebelumnya yang sudah miring. Perlapisan endapan jatuhan piroklastika membentuk jurus secara umum berpola konsentris, sedangkan kemiringannya semakin landai dari fasies proksimal ke arah fasies distal (Gambar 11). Pengamatan di lereng atas dan puncak gunung api masa kini, seperti Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Gunung Bromo di Jawa Timur, memperlihatkan bahwa kemiringan awal dapat mencapai 35o. Di Gunung Suroloyo, yang merupakan bagian lereng selatan gunung api purba Menoreh berumur Tersier, kemiringan perlapisan batuan gunung api juga mencapai 35o. Kemiringan awal perlapisan batuan gunung api ini disebut initial dips atau original dips. Dengan demikian akan terjadi perubahan secara berangsur kemiringan awal perlapisan batuan gunung api dari miring terjal di fasies proksimal sampai miring landai di fasies medial, atau bahkan merupakan perlapisan horizontal di fasies distal. Perlapisan batuan gunung api itu mempunyai jurus berpola konsentris mengelilingi fasies pusat gunung api. Pada saat bergerak ke permukaan, magma mendorong batuan di atas dan di sampingnya sehingga terjadi pengungkitan (tilting). Pengungkitan terbesar terdapat pada daerah puncak/kawah dan lereng atas,kemudian nilainya menurun ke arah lereng bawah dan kaki. Penggembungan lereng gunung api sebagai akibat daya dorong magma ke atas itu disebut inflasi. Sebaliknya, apabila magma mendingin atau membeku sehingga volumenya mengecil, atau magma bergerak kembali ke bawah sehingga lereng gunung api mengkerut, maka deformasi batuan gunung api ini disebut defl asi. Pada saat terjadi inflasi ukuran lingkaran kawah dipaksa membesar dan karena tersusun oleh batuan yang getas maka bibir kawah mengalami pecah-pecah membentuk rekahan berpola radier. Berhubung gerak magma dan erupsi gunung api terjadi berulang-ulang, maka proses infl asi-defl asi juga terjadi berkali-kali. Karena efek gaya berat dan keragaman sifat fisik batuan, rekahan radier itu dapat berkembang menjadi sesar normal di daerah puncak dan lereng atas. Selanjutnya karena kombinasi efek gravitasi dan topografi lereng, blok-blok sesar turun di daerah puncak dan lereng atas dapat melengser membentuk sesar miring (turun-geser) pada lereng bawah. Sementara itu di daerah kaki, efek daya dorong sebagai akibat pelengseran massa batuan yang berasal dari puncak dan lereng jauh lebih kuat dari gaya gravitasi sehingga terbentuk sesar geser. Akhirnya di daerah dataran, daya dorong pelengseran menimbulkan gaya lateral sehingga dapat mengakibatkan terbentuknya sesar naik dan struktur perlipatan yang berpola konsentris mengelilingi kerucut gunung api (Bronto drr., 2004a). Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pada fasies pusat dan fasies proksimal struktur geologi yang berkembang adalah sesar normal berpola radier, di fasies medial terbentuk sesar miring sampai sesar geser yang juga berpola radier. Sementara itu di fasies distal dapat terjadi sesar naik dan struktur perlipatan yang berpola konsentris. Pola struktur geologi yang diperkirakan sebagai akibat proses magmatisme dan volkanisme dapat dicontohkan terjadi di daerah Gunung Ijo, Pegunungan Kulonprogo (Rahardjo drr., 1977) dan kaki utara-timur Gunung Slamet (Djuri drr., 1996).
Gambar 9. Aliran lava basal berstruktur bantal di Kali Opak – Watuadeg, Berbah, Sleman – Yogyakarta
Gambar 10. Struktur lontaran balistik bom gunung api (bomb sag structure) yang berasal dari kawah pada waktu terjadi letusan. Lontaran bom jatuh miring atau menyudut terhadap bidang perlapisan endapan tefra yang tertimpanya. Sebagai akibatnya endapan itu melesak ke bawah, secara tidak simetri sesuai dengan arah sudut lontaran. Singkapan ini terletak sekitar 300 m di sebelah timur kawah Gunung Tangkubanparahu di tepi jalan menuju ke puncak.
IDENTIFIKASI BERDASARKAN PETROLOGI-GEOKIMIA
Berdasarkan pandangan geologi sedimenter selama ini (Bronto drr., 2004a) terdapat dua proses yang berbeda dan pada umur yang berbeda pula. Proses pertama adalah sedimentasi batuan gunung api di dalam suatu cekungan pengendapan, dimana sumber asal batuan tidak diketahui atau tidak dipersoalkan. Proses kedua adalah pembentukan magma di bawah cekungan pengendapan tersebut yang bergerak ke atas, sehingga menerobos perlapisan batuan sedimen gunung api di atasnya. Apabila hal ini yang terjadi maka secara petrologi-geokimia batuan sedimen gunung api dapat berbeda dengan batuan beku yang menerobosnya. Selain itu, batuan sedimen gunung api berumur lebih tua daripada batuan beku terobosan. Sebaliknya, mengacu pada pandangan geologi gunung api, batuan ekstrusi dan batuan intrusi merupakan satu kesatuan proses yang terjadi pada lokasi dan umur relatif sama. Oleh sebab itu secara petrologi-geokimia batuan ekstrusi dan intrusi dapat dipandang bersumber dari magma yang sama dan mempunyai afi nitas yang sama pula (co-magmatic atau coherent). Penelitian di Perbukitan Jiwo, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten Propinsi Jawa Tengah (Bronto drr., 2004b) menunjukkan bahwa batuan beku intrusi gabro mikro mempunyai komposisi mineral dan kimia yang sama dengan batuan ekstrusi aliran lava basal berstruktur bantal di dekatnya. Perbedaan hanya pada kehadiran gelas gunung api yang semakin menonjol di dalam lava basal. Hal itu memberikan gambaran bahwa batuan beku intrusi dan ekstrusi tersebut mempunyai afnitas yang sama sebagai satu kesatuan proses magmatisme dan vulkanisme. Keragaman komposisi sebagai akibat proses diferensiasi, misalnya terbentuk basal, andesit basal, andesit, dan dasit, dapat saja terjadi, tetapi semuanya berasal dari magma induk yang sama (Bronto, 2002). Apabila di dalam dapur magma gunung api terjadi percampuran dua magma yang berbeda sumber, maka hal inipun masih dapat teridentifi kasi baik di dalam batuan intrusi maupun batuan ekstrusi.
APLIKASI DI BIDANG MINERAL
Penelitian fasies gunung api dapat dimanfaatkan untuk pencarian sumber baru mineralisasi logam sulfida berdasarkan konsep pusat erupsi gunung api sebagai strategi untuk penelitian emas (Volcanic Center Concept for Gold Exploration Strategy, Bronto & Hartono, 2003; Bronto, 2003b). Interaksi antara gas asam, unsur logam, dan pancaran panas dari magma dengan air meteorik di dalam konduit gunung api membentuk fluida hidrotermal yang pada akhirnya menghasilkan batuan ubahan dan mineralisasi. Konduit atau istilah lain diatrema, vent dan korok gunung api terletak di bawah kawah dan di atas dapur magma. Ini berarti bahwa endapan mineralisasi terdapat di dalam fasies pusat gunung api. Oleh sebab itu dalam rangka pencarian sumber baru mineralisasi maka sebagai langkah pertama adalah dengan mencari fasies pusat gunung api purba. Tindakan ini sudah penulis laksanakan sehingga berhasil menemukan sumber baru mineralisasi di daerah Cupunagara, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat (Bronto drr., 2004c). Apabila dicermati, hampir seluruh kawasan pertambangan emas dan logam sulfi da lainnya terletak di dalam fasies pusat gunung api, mulai dari Grasberg di Papua (e.g. Coutts drr., 1999), Totopo Barat di Sulawesi Utara (Santos drr., 1999), Kelian di Kalimantan (e.g. Davies drr., 1999) dan Pongkor di Jawa Barat (e.g. Milesi drr., 1999; Hartono & Bronto, 2005). Permasalahan umum adalah para peneliti biasanya kurang tertarik untuk mendalami lingkungan geologi gunung api dalam kaitannya dengan pembentukan cebakan emas. Lebih lanjut berdasarkan analisis radiometri, batuan gunung api pada suatu kawasan mempunyai umur yang berbeda-beda. Sebagai contoh batuan gunung api di daerah Bayah, Formasi Cikotok berumur Paleogen, Tuf Citorek berumur Neogen dan di sekelilingnya terdapat batuan gunung api Kuarter (Sujatmiko & Santosa, 1992). Di daerah Cupunagara batuan gunung api ditemukan mulai dari umur 59 juta tahun yang lalu sampai dengan 1,4 juta tahun yang lalu (Bronto drr., 2004c; Utoyo drr., 2004). Di Pegunungan Kulon Progo batuan gunung api berumur 76 juta tahun yang lalu hingga 12 juta tahun yang lalu (Ngkoimani, 2005; Soeria-Atmadja drr., 1994; Akmaluddin drr., 2005). Di daerah Pacitan batuan gunung api berumur 42,7 juta tahun yang lalu sampai dengan 8,94 juta tahun yang lalu (Soeria-Atmadja drr., 1994). Data tersebut menunjukkan bahwa magmatisme dan vulkanisme terjadi berulang-ulang, dan tidak menutup kemungkinan hal itu juga diikutin oleh proses alterasi hidrotermal serta mineralisasi. Apabila hal itu benar maka diperkirakan pengkayaan mineralisasi dapat terjadi di daerah tersebut.
APLIKASI DI BIDANG LINGKUNGAN DAN KEBENCANAAN
Kawasan gunung api, yang pada umumnya berupa daerah tinggian, merupakan daerah tangkapan sekaligus resapan air hujan yang sangat baik. Dalam rangka pengelolaan sumber daya air tanah perlu diketahui karakter aliran air bawah permukaan yang dimulai dari fasies sentral dan fasies proksimal menuju ke fasies medial dan fasies distal. Di sinilah perlunya melakukan penelitian, identifi kasi dan pemetaan terhadap wilayah yang termasuk di dalam fasies gunung api tersebut. Wilayah fasies sentral dan proksimal seyogyanya dilestarikan sebagai daerah tangkapan dan resapan air hujan, sedangkan pemanfaatan air tanah dilakukan di fasies medial atau bahkan di fasies distal. Dalam rangka pembangunan pemukiman di kawasan Dago Pakar pada awal tahun 1980-an dilakukan penelitian geohidrologi di daerah Bandung Utara (Hartono, 1980). Berdasarkan bentuk bentang alam dan prinsip stratigrafi kue lapis air hujan yang jatuh di kawasan Dago Pakar yang tersusun oleh batuan gunung api Formasi Cikapundung akan meresap dan mengalir mengikuti bidang perlapisan dengan kemiringan sekitar 20o ke selatan (Sampurno, 1981). Air hujan tersebut akan membentuk air tanah dalam (kedalaman > 200 m) di bawah dataran Bandung. Dengan demikian pembangunan pemukiman di kawasan Dago Pakar tidak akan berpengaruh terhadap suplai air permukaan dan air tanah dangkal di dataran Bandung. Namun perlu dicermati bahwa batuan Formasi Cikapundung tersusun oleh perlapisan tidak menerus dari lidah lava, breksi, dan tuf seperti dilaporkan oleh Sampurno drr. (2004). Asosiasi batuan tersebut mencerminkan fasies proksimal-medial dari kompleks gunung api Sunda bagian selatan tenggara. Seperti dicontohkan pada Gambar 7, perlapisan aliran lava, breksi, dan bahan klastika gunung api lainnya tidak menerus seperti halnya pada perlapisan endapan kue lapis. Sedimentasi endapan aliran gravitasi seperti aliran lava, aliran piroklastika, dan lahar bersifat sektoral, mengikuti alur-alur sungai purba. Endapan yang dapat menerus tersebar luas hanya jenis jatuhan piroklastika (tuf jatuhan), tetapi karena endapan ini berada di lingkungan darat dimana proses erosi dan sedimentasi silih berganti, maka hal tersebut menyebabkan tuf jatuhan itu juga tidak dapat sepenuhnya menerus seperti endapan di lingkungan laut. Lebih dari itu, endapan jatuhan piroklastika di lingkungan darat biasanya mempunyai jurus dan kemiringan orisinal yang mengikuti topografi sebelumnya, yakni melandai dari fasies proksimal ke fasies medial. Hal ini terbukti pada pengukuran lapisan endapan gunung api di Dago Utara yang hanya menunjukkan kemiringan sekitar 5-7o (Sampurno drr., 2004), jauh lebih kecil dari 20o. Dengan demikian batuan gunung api di dalam fasies proksimal-medial tersebut dapat disetarakan dengan endapan di dalam sungai teranyam atau berstruktur silang-siur (Bronto & Hartono, 2006), atau kemiringan lapisan batuan yang semakin landai ke arah selatan. Konsekuensi pemikiran ini adalah air yang jatuh di kawasan Dago Pakar sampai Sesar Lembang, selain dapat menjadi air tanah dalam, juga mensuplai air tanah dangkal atau bahkan air permukaan di dataran Bandung. Jika hal itu benar, maka berkembangnya pembangunan pemukiman yang dimulai dari Jalan Babakan Siliwangi-Punclut dan Dago Pakar di sebelah barat sampai dengan lereng selatan Gunung Manglayang di sebelah timur dapat berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas suplai air tanah dangkal dan air permukaan di dataran Bandung. Berdasarkan pengamatan terhadap proses dan produk erupsi gunung api aktif masa kini, maka jenis bahaya gunung api pada setiap fasies gunung api dapat diperkirakan. Di dalam fasies sentral dan proksimal gunung api, jenis bahaya yang dapat terjadi adalah lontaran batu pijar (bom/blok gunung api), hujan abu, gas beracun, awan panas (aliran piroklastika), aliran lava, dan guguran kubah lava. Pada fasies medial jenis bahaya gunung api adalah awan panas, hujan abu, aliran lahar, sedangkan bahaya pada fasies distal berupa hujan abu, aliran lahar, dan banjir. Informasi ini sangat penting dalam rangka menyusun peta kawasan rawan bencana gunung api yang mempunyai potensi untuk meletus pada masa mendatang, sekaligus penataan lingkungan hidup di wilayah tersebut (Bronto, 1992; 1994; 1995; 2000, 2001).